Jakarta, CNN Indonesia -- Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) sepakat, transplantasi ginjal merupakan cara terbaik untuk sembuh dan mengembalikan fungsi ginjal secara normal. Sebab, terapi lainnya tidak akan bisa menyembuhkan, hanya memperlambat proses kerusakan ginjal.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Tunggul D. Situmorang mengatakan, dibandingkan hemodialisis atau cuci darah, transplantasi jauh lebih menguntungkan. Padahal biaya yang digunakan untuk keduanya tidak terpaut jauh.
"Masa pengobatan dan kualitasnya tidak sama. Kalau hemodialisis tiga tahun saja sama harganya. Padahal hemodialisis harus dilakukan terus seumur hidup. Itu tidak dapat mengembalikan seluruh fungsi ginjal," kata Tunggul dalam acara temu media Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI) di kawasan Matraman, Jakarta, Rabu (3/2).
Dokter Dharmeizar, spesialis penyakit dalam, juga mengatakan, proses hemodialisis atau cuci darah cenderung menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Ia berkata, satu sesi cuci darah bisa menghabiskan lima jam dan itu dilakukan dua kali seminggu.
"Kalau sudah stadium lima, hemodialisis dilakukan tiga hari, dua kali dalam seminggu dan itu seumur hidup," ujar Dharmeizar.
Tapi, untuk melakukan transplantasi ginjal pun bukan perkara mudah. Baik pendonor maupun resipien harus memenuhi syarat. Keduanya juga harus melakukan pemeriksaan serta uji kepatutan terlebih dahulu.
Untuk melakukan prosedur transplantasi, pendonor yang ingin menyumbangkan ginjalnya harus pergi ke poliklinik atau ke rumah sakit terlebih dahulu untuk melalukan registrasi. Pendonor juga harus melakukan general informed consent dan membuat rekam medik.
Setelah proses itu dilakukan, pendonor harus berhadapan dengan tim advokasi, terdiri dari para ahli dan dokter, untuk menentukan kelaikan.
Wakil Ketua Komite Etik dan Hukum RSCM Dokter Tjetjep D.S. mengatakan, ada lembar penilaian yang digunakan tim advokasi. Salah satunya, harus memastikan identitas sang pendonor, seperti KTP, Kartu Keluarga, dan identitas lain.
Hubungan pendonor dengan resipien harus benar-benar ditelisik, termasuk masalah sosial ekonominya. Jika ternyata kedua pihak tidak saling berhubungan, harus diwaspadai.
Dari jawaban-jawaban yang dilontarkan pendonor, tim advokasi kemudian menganalisisnya bersama dengan psikiatri. Mereka menilai apakah jawaban tersebut memenuhi persyaratan atau tidak.
"Kalau jawabannya tidak konsisten ada kecemasan, berarti dia berada dalam satu posisi yang dimanfaatkan orang lain. Sehingga jawaban tim tidak merekomendasikan," ujar Tjetjep.
Setelah tim advokasi merekomendasikan, pendonor diarahkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium, termasuk pemeriksaan darah, lalu konsultasi berupa konsultasi jantung, paru-paru, dan kebidanan. Kondisi jiwa juga diperiksa. Semua harus dalam kondisi prima.
Setelah melakukan semua prosedur itu, tim transplantasi akan melakukan rapat. Pendonor akan masuk ke rumah sakit tiga hari sebelum operasi dimulai. Selama operasi belum dilakukan, calon donor dapat membatalkan persetujuannya.
Resipien atau penerima donor juga harus melakukan prosesur yang kurang lebih sama, ditambah pemeriksaan adanya infeksi atau tidak. Jika ada, infeksi tersebut harus disembuhkan terlebih dahulu.
Indonesia Minim Donor Ginjal
Sayangnya, di Indonesia, donor ginjal masih sangat minim. Padahal angka penderita gagal ginjal cukup tinggi. Masyarakat belum sadar dan belum berani untuk mendonorkan ginjalnya pada orang lain meski undang-undang sudah mengesahkan itu.
Salah satu cara meningkatkan donor transplantasi ginjal adalah dengan menggunakan donor jenazah. Namun, lagu-lagi, fasilitas tidak mendukung. Indonesia masih belum punya Bank Donor untuk memfasilitasi itu semua.
Di sisi lain, masih banyak pihak menyangsikan transplantasi karena masalah kepercayaan dan keagamaan. Sebagian mengatakan kalau seseorang sudah meninggal tidak boleh melakukan donor.
"Profesor Sidabutar tahun 90-an telah mengumpulkan pemuka dari berbagai agama, mereka sepakat menyetujui transplantasi ginjal dari donor jenazah. Tapi belum ada eksekusi legal dari pemerintah. Itu perlu kita ulangi lagi," kata Dharmeizar.
Menurut dia, tidak ada lagi cata lain untuk meningkatkan donor, karena donor hidup sangat terbatas. Untuk itu, kini para dokter spesialis penyakit dalam ingin kembali memperjuangkan usaha Profesor Sidabutar.
"Kami akan mencoba meningkatkan upaya itu mengumpulkan pemuka agama lagi supaya bisa disepakati donor jenazah tidak melanggar ketentuan agama. Kalau itu sudah ada kami akan minta ke pemerintah bagaimana aspek legalnya," ujarnya.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Tunggul D. Situmorang mengatakan, dibandingkan hemodialisis atau cuci darah, transplantasi jauh lebih menguntungkan. Padahal biaya yang digunakan untuk keduanya tidak terpaut jauh.
"Masa pengobatan dan kualitasnya tidak sama. Kalau hemodialisis tiga tahun saja sama harganya. Padahal hemodialisis harus dilakukan terus seumur hidup. Itu tidak dapat mengembalikan seluruh fungsi ginjal," kata Tunggul dalam acara temu media Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI) di kawasan Matraman, Jakarta, Rabu (3/2).
Dokter Dharmeizar, spesialis penyakit dalam, juga mengatakan, proses hemodialisis atau cuci darah cenderung menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Ia berkata, satu sesi cuci darah bisa menghabiskan lima jam dan itu dilakukan dua kali seminggu.
"Kalau sudah stadium lima, hemodialisis dilakukan tiga hari, dua kali dalam seminggu dan itu seumur hidup," ujar Dharmeizar.
Tapi, untuk melakukan transplantasi ginjal pun bukan perkara mudah. Baik pendonor maupun resipien harus memenuhi syarat. Keduanya juga harus melakukan pemeriksaan serta uji kepatutan terlebih dahulu.
Untuk melakukan prosedur transplantasi, pendonor yang ingin menyumbangkan ginjalnya harus pergi ke poliklinik atau ke rumah sakit terlebih dahulu untuk melalukan registrasi. Pendonor juga harus melakukan general informed consent dan membuat rekam medik.
Setelah proses itu dilakukan, pendonor harus berhadapan dengan tim advokasi, terdiri dari para ahli dan dokter, untuk menentukan kelaikan.
Wakil Ketua Komite Etik dan Hukum RSCM Dokter Tjetjep D.S. mengatakan, ada lembar penilaian yang digunakan tim advokasi. Salah satunya, harus memastikan identitas sang pendonor, seperti KTP, Kartu Keluarga, dan identitas lain.
Hubungan pendonor dengan resipien harus benar-benar ditelisik, termasuk masalah sosial ekonominya. Jika ternyata kedua pihak tidak saling berhubungan, harus diwaspadai.
Dari jawaban-jawaban yang dilontarkan pendonor, tim advokasi kemudian menganalisisnya bersama dengan psikiatri. Mereka menilai apakah jawaban tersebut memenuhi persyaratan atau tidak.
"Kalau jawabannya tidak konsisten ada kecemasan, berarti dia berada dalam satu posisi yang dimanfaatkan orang lain. Sehingga jawaban tim tidak merekomendasikan," ujar Tjetjep.
Setelah tim advokasi merekomendasikan, pendonor diarahkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium, termasuk pemeriksaan darah, lalu konsultasi berupa konsultasi jantung, paru-paru, dan kebidanan. Kondisi jiwa juga diperiksa. Semua harus dalam kondisi prima.
Setelah melakukan semua prosedur itu, tim transplantasi akan melakukan rapat. Pendonor akan masuk ke rumah sakit tiga hari sebelum operasi dimulai. Selama operasi belum dilakukan, calon donor dapat membatalkan persetujuannya.
Resipien atau penerima donor juga harus melakukan prosesur yang kurang lebih sama, ditambah pemeriksaan adanya infeksi atau tidak. Jika ada, infeksi tersebut harus disembuhkan terlebih dahulu.
Indonesia Minim Donor Ginjal
Sayangnya, di Indonesia, donor ginjal masih sangat minim. Padahal angka penderita gagal ginjal cukup tinggi. Masyarakat belum sadar dan belum berani untuk mendonorkan ginjalnya pada orang lain meski undang-undang sudah mengesahkan itu.
Salah satu cara meningkatkan donor transplantasi ginjal adalah dengan menggunakan donor jenazah. Namun, lagu-lagi, fasilitas tidak mendukung. Indonesia masih belum punya Bank Donor untuk memfasilitasi itu semua.
Di sisi lain, masih banyak pihak menyangsikan transplantasi karena masalah kepercayaan dan keagamaan. Sebagian mengatakan kalau seseorang sudah meninggal tidak boleh melakukan donor.
"Profesor Sidabutar tahun 90-an telah mengumpulkan pemuka dari berbagai agama, mereka sepakat menyetujui transplantasi ginjal dari donor jenazah. Tapi belum ada eksekusi legal dari pemerintah. Itu perlu kita ulangi lagi," kata Dharmeizar.
Menurut dia, tidak ada lagi cata lain untuk meningkatkan donor, karena donor hidup sangat terbatas. Untuk itu, kini para dokter spesialis penyakit dalam ingin kembali memperjuangkan usaha Profesor Sidabutar.
"Kami akan mencoba meningkatkan upaya itu mengumpulkan pemuka agama lagi supaya bisa disepakati donor jenazah tidak melanggar ketentuan agama. Kalau itu sudah ada kami akan minta ke pemerintah bagaimana aspek legalnya," ujarnya.
No comments:
Post a Comment