Friday, 12 February 2016

Kontroversi Hidangan Hiu Saat Imlek

Kontroversi Hidangan Hiu Saat ImlekSeorang pekerja menjemur sirip ikan siu di desa Pabean Udik, Indramayu, Jawa Barat. (ANTARA FOTO/Dedhez Anggara)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bagi sebagian orang yang merayakan Imlek, hidangan hiu menjadi salah satu pilihan makanan yang dianggap patut tersaji saat malam perayaan Tahun Baru China.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh lembaga pemerhati lingkungan WWF Indonesia pada Desember 2015, sekitar 30 persen hotel berbintang dan restoran di DKI Jakarta menawarkan menu berbahan dasar hiu. Pada 2014, WWF Indonesia mencatat 15 ribu kilogram daging hiu dikonsumsi oleh warga Jakarta.

"Catatan Badan Pangan Dunia atau FAO pada 2010, Indonesia merupakan negara yang melakukan ekspor hiu terbesar mencapai 100 ribu ton per tahun," tulis WWF Indonesia dalam siaran pers yang diterima CNNIndoensia.com, Jumat (5/2).

Beragam bagian dari jenis ikan predator tersebut yang dikonsumsi oleh manusia. Tercatat, beberapa bagian hiu yang sering dikonsumsi adalah bagian hati, darah, mata, tulang rawan, kulit, dan sirip.

Dari banyaknya bagian hiu yang dikonsumsi, pada umumnya hidangan sup sirip hiu menjadi hidangan spesial pada Imlek. Makanan ini termasuk jenis hidangan ternama dalam kuliner Tionghoa karena disajikan pada perjamuan atau pernikahan, dan termasuk dalam kategori hidangan mewah.

Satu porsi sup sirip hiu di Amerika dihargai sekitar US$300 atau, Rp4 juta. Sedangkan di Indonesia, harga sup ini beragam, mulai ratusan ribu hingga jutaan rupiah yang tersaji dalam paket khusus di hotel berbintang atau restoran mewah.

Makanan ini juga hadir dengan berbagai mitos, seperti dapat meningkatkan potensi seksual seseorang, baik untuk kecantikan kulit, meningkatkan energi dalam, mencegah serangan jantung, serta mengurangi kolesterol.

Kepercayaan China kuno juga menyebutkan sup sirip hiu punya khasiat membuat awet muda, meningkatkan nafsu makan, membantu tubuh dalam menghasilkan darah, memelihara ginjal dan organ tubuh lainnya seperti paru-paru dan tulang.

Kontroversi Konsumsi Hiu

Namun makanan ini juga diiringi berbagai kontroversi dan pertentangan. WWF Indonesia dalam rilisnya mengatakan dua hingga tiga hiu mati setiap detik akibat perburuan di perairan dunia, dan mayoritas untuk bahan makanan juga obat.

Padahal, hiu termasuk hewan dengan tempo reproduksi yang lambat. Hiu menghasilkan lima hingga sepuluh anak dalam dua sampai tiga tahun. Hal ini menyebabkan jumlahnya yang terbatas, dan menjadikan predator di puncak rantai makanan ini sebagai hewan yang dilindungi karena terancam punah.

Kontroversi lainnya tentang hiu adalah keamanan pangannya yang diragukan. Dalam rilis Keamanan Pangan dari Badan POM RI pada 2009, daging hiu diketahui mengandung merkuri sebesar satu hingga empat part per million (ppm), sedangkan batasan yang ditolerir adalah satu ppm.

Kandungan merkuri yang tinggi itulah yang membuat hiu mendapat rekomendasi dihindari untuk ibu hamil, menyusui dan anak-anak. Berdasarkan rilis dari Badan Pangan dan Obat Amerika (FDA), merkuri dapat terakumulasi dalam darah seiring dengan waktu.

Kontras dengan mitos di sekeliling olahan hiu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan dalam laman resminya merkuri berpengaruh pada sistem saraf. Selain saraf, merkuri memiliki efek yang merugikan dan fatal pada pencernaan, paru-pari, serta ginjal. Gejala yang muncul berupa tremor, insomnia, kehilangan memori, sakit kepala, dan gangguan kognitif serta motorik.

Sejak Juli 2014, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sendiri sudah melarang beredarnya olahan hiu dan ikan pari manta di wilayah Ibu Kota berdasarkan keputusan Plt Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama.

Ada sembilan jenis hiu dan dua ikan pari yang termasuk dilarang beredar dalam bentuk olahan. Beberapa spesies hiu tersebut dikenal sebagai hiu monyet, hiu paus, hiu gergaji, hiu koboy, dan hiu caping.

"Petisi di change.org untuk menghentikan segala bentuk promosi, konsumsi, dan penjualan produk berbahan dasar hiu terlah didukung lebih dari 14 ribu orang dari Mei 2013 hingga pertengahan 2015," ujar WWF Indonesia.

"Kami yakin jaringan hotel dan restoran tetap dapat memuaskan konsumen walau tidak lagi menyajikan menu berbahan dasar hiu." tulis WWF.

No comments:

Post a Comment