Jakarta, CNN Indonesia -- Sekitar satu tahun lamanya, Megawati Tanto harus menahan rasa sakit akibat serangkaian kemoterapi dan terapi target yang harus dijalankannya. Setidaknya 10 terapi harus ia jalani untuk bisa bertahan dari kanker usus besar, yang bersarang di tubuh perempuan berusia 69 tahun itu.
Bolak-balik rumah sakit menjadi rutinitas baru Mega sejak dokter mengatakan bahwa ia mengidap kanker usus besar stadium tiga. Bukan perkara mudah menjalani kemoterapi bagi Mega. Kondisinya yang pernah mengidap penyakit yang membuat trombositnya rusak, membuat rangkaian proses kemoterapi menjadi begitu berat.
"Waktu kemoterapi, trombosit saya drop sekali. Harus infus trombosit dan dirawat 3-5 hari sebelum kemo. Kalau orang kemo makan obat dosisnya tiga minggu sekali, artinya enam minggu dua kali, saya dibikin enam minggu tiga kali supaya lebih ringan," kata Mega saat ditemui usai acara diskusi tentang kanker usur besar di kawasan Cikini, Jakarta, Selasa (15/12).
Penderitaan Mega tidak hanya sampai di situ. Dokter yang merawatnya tidak puas dengan hasil kemoterapi Mega. Ia pun dianjurkan untuk melanjutkan terapi target. Padahal stadium penyakitnya belum mengharuskan dia untuk melakukan terapi target yang seharusnya untuk stadium empat.
"Apa salahnya kalau stadium tiga menjalani pengobatan stadium empat," begitu pikir Mega kala itu.
Tapi, dia tidak siap dengan rasa sakit hebat yang mengikuti terapi target. Tak kalah hebat jika dibandingkan rasa sakit usai kemoterapi. Tumit kaki Mega sampai pecah-pecah bahkan mengeluarkan darah. Setiap Mega bangun dari duduknya dan mulai melangkahkan kaki, seketika itu juga rasa sakit yang teramat sangat kembali menyergapnya.
Rangkaian pengobatan yang ia jalani bahkan membuat kaki dan tangannya mati rasa. Kala itu ia tak bisa memegang benda apapun karena pasti selalu lepas dari genggamannya. Saat memakai sandal pun, sandal itu selalu tertinggal karena kaki Mega juga tidak merasakan keberadaan sandal tersebut, meski masih bisa jalan.
"Sampai sekarang kaki saya masih baal (mati rasa). Harus pakai sandal jepit atau sepatu," ujarnya.
Awalnya, Mega tak tahu sama sekali jika ada kanker yang bersarang di usus besarnya. Ia juga mengaku tak mengalami buang air besar disertai darah, sembelit, rasa nyeri perut, atau gejala lainnya, yang menunjukkan bahwa ia terserang kanker usus besar.
Semuanya datang begitu cepat dan tiba-tiba. Di sela kebiasaannya pergi ke toilet sebelum tidur, Mega merasakan hal ganjil. Ketika buang air kecil, ada darah segar yang ikut keluar dari tubuh Mega.
Setelah ditelisik, darah itu tidak keluar dari vaginanya, melainkan dari anusnya. Panik, Mega langsung pergi ke rumah sakit yang tak seberapa jauh dari tempat tinggalnya.
Setelah dilakukan pemeriksaan sementara, dokter memintanya untuk tinggal di rumah sakit dan menunggu hasil pemeriksaan. Tapi, Mega bersikeras untuk pulang karena tempat tinggalnya hanya berjarak lima menit dari rumah sakit.
Keesokan harinya, Mega menjalani pemeriksaan lagi oleh dokter spesialis lambung, saluran cerna, dan hati. Setelah dicek, ternyata dokter menemukan seperti bentuk awan-awan di saluran cerna dan mengatakan kemungkinan itu adalah kanker.
"Katanya mungkin itu nanti bisa jadi kanker usus. Tapi nanti itu, tidak tahu kapan. Saya pikir tidak segitu urgent-nya untuk diperiksa. Tapi saya tenang saja, yang namanya nanti kan berarti masih lama banget," kata Mega.
Tapi ternyata setelah dipaksa untuk melakukan pemeriksaan lanjutan, baru diketahui Mega mempunyai polip dan kanker usus besarnya sudah memasuki stadium satu dan harus segera dioperasi. Waktu itu, Mega tidak perlu menjalani kemoterapi.
Tapi, takdir berkata lain. Sebelum operasi, dokter kembali melakukan pemeriksaan ulang. Yang mengejutkan, ternyata hasil pemeriksaan berbeda lagi. Dokter menemukan kanker yang sudah stadium tiga di tempat yang berbeda.
"Waktu pertama, tidak ketahuan ada di tempat lain mungkin karena usus saya terus bergerak. Saya pikir waktu pertama saya kolonoskopi yang stadium tiga lagi ngumpet. Tapi saya percaya itu semua karena Tuhan."
Pola Hidup Tidak Sehat
Kendati seolah datang tanpa gejala, kanker usus besar pada Mega ternyata bukan tanpa pemicu. Jika diingat ke belakang, Mega mengaku pola makannya memang tidak sehat.
Ia kerap membeli makanan di luar dan getol menyantap makanan berlemak. Daging sapi, ayam, makanan laut, dan kue menjadi makanan yang selalu mengisi hari-harinya.
"Saya tidak pernah makan sayur. Tidak suka. Saya juga tidak suka sekali makan buah," ujar Mega dengan nada menekankan.
Ia bercerita, sejak kecil dia dan saudara-saudaranya tidak pernah mengonsumsi buah-buahan karena orang tuanya pun tidak pernah membeli buah. Sebagai pencuci mulut, keluarga Mega selalu mengandalkan kue. Jika kue tak ada, cokelat pun jadi kudapan.
Dokter ahli bedah digestif Benny Philippi mengatakan, kurang konsumsi serat atau fiber akan membuat ampas di usus besar berkurang, sehinggan gerakan usus tidak lancar. Hal ini bisa menyebabkan buang air besar jadi bermasalah dan akhirnya menimbulkan kanker usus besar.
Selain itu, konsumsi lemak dengan jumlah yang banyak juga bisa menjadi penyebab, karena lemak yang dikonsumsi akan memengaruhi metabolisme tubuh.
"Kalau makan lemak tinggi, mengeluarkan empedu banyak. Empedu di dalam usus besar tidak baik, itu akan berubah jadi empedu sekunder yang bisa merangsang kanker," kata Benny.
Delapan tahun berlalu, kini kanker sudah membuat Mega banyak berubah. Dia jadi mengonsumsi sayur dan buah, walaupun hanya sedikit.
Dalam satu hari Mega bisa meminum jus tiga kali. Jus buah di pagi hari, jus sayur pada siang hari, dan malam kembali dengan jus buah.
Tak hanya mengubah pola makannya, kehadiran kanker usus besar juga membuat Mega banyak belajar tentang kehidupan. Apalagi setelah berhasil bertahan dari kanker usus besar, Mega dijangkiti kanker paru-paru.
Pun demikian, Mega tidak mengeluh. Dia justru bersyukur.
"Saya justru berterima kasih sama Tuhan. Kalau tidak dikasih penyakit ini, saya tidak akan menyadari pentingnya menjenguk orang sakit dan mengajak mereka mengobrol. Saya terima kasih sekali," ujar perempuan yang juga aktif menjadi relawan dalam organisasi Cancer Information and Support Center (CISC).
Kendati sudah sembuh, atau ia lebih suka menyebutkan berhasil bertahan, tapi Mega harus tetap rutin melakukan pemeriksaan. Kalau-kalau kankernya akan datang kembali ke hidupnya, bisa segera diberantas.
Setiap enam bulan sekali Mega harus kontrol ke rumah sakit tempat ia berobat. Walaupun stres dan was-was setiap kali memeriksakan diri, Mega tetap bersemangat dan menjalankan pola hidup sehat. Dia juga tak lupa bersyukur.
Bolak-balik rumah sakit menjadi rutinitas baru Mega sejak dokter mengatakan bahwa ia mengidap kanker usus besar stadium tiga. Bukan perkara mudah menjalani kemoterapi bagi Mega. Kondisinya yang pernah mengidap penyakit yang membuat trombositnya rusak, membuat rangkaian proses kemoterapi menjadi begitu berat.
"Waktu kemoterapi, trombosit saya drop sekali. Harus infus trombosit dan dirawat 3-5 hari sebelum kemo. Kalau orang kemo makan obat dosisnya tiga minggu sekali, artinya enam minggu dua kali, saya dibikin enam minggu tiga kali supaya lebih ringan," kata Mega saat ditemui usai acara diskusi tentang kanker usur besar di kawasan Cikini, Jakarta, Selasa (15/12).
Penderitaan Mega tidak hanya sampai di situ. Dokter yang merawatnya tidak puas dengan hasil kemoterapi Mega. Ia pun dianjurkan untuk melanjutkan terapi target. Padahal stadium penyakitnya belum mengharuskan dia untuk melakukan terapi target yang seharusnya untuk stadium empat.
"Apa salahnya kalau stadium tiga menjalani pengobatan stadium empat," begitu pikir Mega kala itu.
Tapi, dia tidak siap dengan rasa sakit hebat yang mengikuti terapi target. Tak kalah hebat jika dibandingkan rasa sakit usai kemoterapi. Tumit kaki Mega sampai pecah-pecah bahkan mengeluarkan darah. Setiap Mega bangun dari duduknya dan mulai melangkahkan kaki, seketika itu juga rasa sakit yang teramat sangat kembali menyergapnya.
Rangkaian pengobatan yang ia jalani bahkan membuat kaki dan tangannya mati rasa. Kala itu ia tak bisa memegang benda apapun karena pasti selalu lepas dari genggamannya. Saat memakai sandal pun, sandal itu selalu tertinggal karena kaki Mega juga tidak merasakan keberadaan sandal tersebut, meski masih bisa jalan.
"Sampai sekarang kaki saya masih baal (mati rasa). Harus pakai sandal jepit atau sepatu," ujarnya.
Awalnya, Mega tak tahu sama sekali jika ada kanker yang bersarang di usus besarnya. Ia juga mengaku tak mengalami buang air besar disertai darah, sembelit, rasa nyeri perut, atau gejala lainnya, yang menunjukkan bahwa ia terserang kanker usus besar.
Semuanya datang begitu cepat dan tiba-tiba. Di sela kebiasaannya pergi ke toilet sebelum tidur, Mega merasakan hal ganjil. Ketika buang air kecil, ada darah segar yang ikut keluar dari tubuh Mega.
Setelah ditelisik, darah itu tidak keluar dari vaginanya, melainkan dari anusnya. Panik, Mega langsung pergi ke rumah sakit yang tak seberapa jauh dari tempat tinggalnya.
Setelah dilakukan pemeriksaan sementara, dokter memintanya untuk tinggal di rumah sakit dan menunggu hasil pemeriksaan. Tapi, Mega bersikeras untuk pulang karena tempat tinggalnya hanya berjarak lima menit dari rumah sakit.
Keesokan harinya, Mega menjalani pemeriksaan lagi oleh dokter spesialis lambung, saluran cerna, dan hati. Setelah dicek, ternyata dokter menemukan seperti bentuk awan-awan di saluran cerna dan mengatakan kemungkinan itu adalah kanker.
"Katanya mungkin itu nanti bisa jadi kanker usus. Tapi nanti itu, tidak tahu kapan. Saya pikir tidak segitu urgent-nya untuk diperiksa. Tapi saya tenang saja, yang namanya nanti kan berarti masih lama banget," kata Mega.
Tapi ternyata setelah dipaksa untuk melakukan pemeriksaan lanjutan, baru diketahui Mega mempunyai polip dan kanker usus besarnya sudah memasuki stadium satu dan harus segera dioperasi. Waktu itu, Mega tidak perlu menjalani kemoterapi.
Tapi, takdir berkata lain. Sebelum operasi, dokter kembali melakukan pemeriksaan ulang. Yang mengejutkan, ternyata hasil pemeriksaan berbeda lagi. Dokter menemukan kanker yang sudah stadium tiga di tempat yang berbeda.
"Waktu pertama, tidak ketahuan ada di tempat lain mungkin karena usus saya terus bergerak. Saya pikir waktu pertama saya kolonoskopi yang stadium tiga lagi ngumpet. Tapi saya percaya itu semua karena Tuhan."
Pola Hidup Tidak Sehat
Kendati seolah datang tanpa gejala, kanker usus besar pada Mega ternyata bukan tanpa pemicu. Jika diingat ke belakang, Mega mengaku pola makannya memang tidak sehat.
Ia kerap membeli makanan di luar dan getol menyantap makanan berlemak. Daging sapi, ayam, makanan laut, dan kue menjadi makanan yang selalu mengisi hari-harinya.
"Saya tidak pernah makan sayur. Tidak suka. Saya juga tidak suka sekali makan buah," ujar Mega dengan nada menekankan.
Ia bercerita, sejak kecil dia dan saudara-saudaranya tidak pernah mengonsumsi buah-buahan karena orang tuanya pun tidak pernah membeli buah. Sebagai pencuci mulut, keluarga Mega selalu mengandalkan kue. Jika kue tak ada, cokelat pun jadi kudapan.
Dokter ahli bedah digestif Benny Philippi mengatakan, kurang konsumsi serat atau fiber akan membuat ampas di usus besar berkurang, sehinggan gerakan usus tidak lancar. Hal ini bisa menyebabkan buang air besar jadi bermasalah dan akhirnya menimbulkan kanker usus besar.
Selain itu, konsumsi lemak dengan jumlah yang banyak juga bisa menjadi penyebab, karena lemak yang dikonsumsi akan memengaruhi metabolisme tubuh.
"Kalau makan lemak tinggi, mengeluarkan empedu banyak. Empedu di dalam usus besar tidak baik, itu akan berubah jadi empedu sekunder yang bisa merangsang kanker," kata Benny.
Delapan tahun berlalu, kini kanker sudah membuat Mega banyak berubah. Dia jadi mengonsumsi sayur dan buah, walaupun hanya sedikit.
Dalam satu hari Mega bisa meminum jus tiga kali. Jus buah di pagi hari, jus sayur pada siang hari, dan malam kembali dengan jus buah.
Tak hanya mengubah pola makannya, kehadiran kanker usus besar juga membuat Mega banyak belajar tentang kehidupan. Apalagi setelah berhasil bertahan dari kanker usus besar, Mega dijangkiti kanker paru-paru.
Pun demikian, Mega tidak mengeluh. Dia justru bersyukur.
"Saya justru berterima kasih sama Tuhan. Kalau tidak dikasih penyakit ini, saya tidak akan menyadari pentingnya menjenguk orang sakit dan mengajak mereka mengobrol. Saya terima kasih sekali," ujar perempuan yang juga aktif menjadi relawan dalam organisasi Cancer Information and Support Center (CISC).
Kendati sudah sembuh, atau ia lebih suka menyebutkan berhasil bertahan, tapi Mega harus tetap rutin melakukan pemeriksaan. Kalau-kalau kankernya akan datang kembali ke hidupnya, bisa segera diberantas.
Setiap enam bulan sekali Mega harus kontrol ke rumah sakit tempat ia berobat. Walaupun stres dan was-was setiap kali memeriksakan diri, Mega tetap bersemangat dan menjalankan pola hidup sehat. Dia juga tak lupa bersyukur.
No comments:
Post a Comment