Jakarta, CNN Indonesia -- Awal Februari lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan status darurat atau Public Health Emergency Internasional Concern (PHEIC) terhadap virus zika karena diduga memiliki hubungan dengan gangguan saraf seperi mikrosefalus. Namun, status darurat pada virus zika dikatakan berbeda dengan ebola.
Koordinator Regional WHO di Asia Tenggara Tjandra Yoga Aditama mengatakan ebola yang sempat mewabah di Afrika dikatakan sebagai PHEIC karena dampak yang ditimbulkan sudah jelas. Bahkan, bisa menyebabkan kematian jika tidak ditangani langsung. Sedangkan zika, justru kebalikannya.
"Kalau ebola, dikatakan sebagai PHEIC karena apa yang sudah diketahui tentang virus tersebut. Kalau zika, ditetapkan sebagai PHEIC karena apa yang tidak diketahui tentang virus itu, tapi tiba-tiba ada peningkatan yang cukup signifikan," kata Tjandra dalam acara Diskusi Panel Virus Zika di Universitas Indonesia, Jakarta, Rabu (17/2).
Tjandra juga menjelaskan penetapan status itu lebih ditekankan pada kaitannya dengan mikrosefalus dan kelainan saraf lainnya. Sebab, saat virus zika mewabah di Brazil, angka kasus mikrosefalus juga ikut meningkat.
Sampai saat ini, hubungan antara virus zika dengan mikrosefalus atau kelainan saraf lainnya belum bisa dikonfirmasi. Para peneliti masih mencoba mencari tahu kebenaran dugaan tersebut.
Meski belum ditemukan kaitannya, masyarakat diminta waspada. Apalagi jika tinggal di daerah atau dekat dengan daerah tempat virus tersebut mewabah.
"Kita perlu hati-hati saat ini walaupun belum ada bukti yang jelas," ujar Tjandra.
Walaupun tidak banyak ditemukan kasus virus zika di Indonesia, tapi sebenarnya Indonesia termasuk ke dalam negara yang terindikasi sebagai tempat sirkulasi virus.
Dokter spesialis penyakit tropik dan Infeksi dari Universitas Indonesia, Leonard Nainggolan, mengatakan hal itu disebabkan pernah ditemukannya satu kasus zika di Indonesia pada 2015 lalu, tepatnya di Jambi.
"Indonesia dianggap negara yang penduduknya tertular di dalam (di Indonesia) karena pernah ditemukan kasus itu," kata Leonard.
Selain itu, vektor pembawa virus zika yaitu nyamuk yang memiliki gen Aedes senang berkembang biak di daerah tropis, termasuk Indonesia.
Virus zika memang tidak lebih berbahaya dibandingkan dengue, namun Kementerian Kesehatan mengimbau masyarakat untuk tetap waspada menanggapi penyebaran virus tersebut.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes RI, Oscar Primadi pun menyarankan agar masyarakat melakukan pencegahan menggunakan cara yang tidak jauh berbeda dengan pencegahan demam berdarah.
"Soal virus Zika, kita memang harus waspada. Caranya dengan pencegahan, yakni pemberantasan sarang nyamuk karena sama seperti DBD, menularnya juga lewat aedes aegypti," ujar Oscar.
Koordinator Regional WHO di Asia Tenggara Tjandra Yoga Aditama mengatakan ebola yang sempat mewabah di Afrika dikatakan sebagai PHEIC karena dampak yang ditimbulkan sudah jelas. Bahkan, bisa menyebabkan kematian jika tidak ditangani langsung. Sedangkan zika, justru kebalikannya.
"Kalau ebola, dikatakan sebagai PHEIC karena apa yang sudah diketahui tentang virus tersebut. Kalau zika, ditetapkan sebagai PHEIC karena apa yang tidak diketahui tentang virus itu, tapi tiba-tiba ada peningkatan yang cukup signifikan," kata Tjandra dalam acara Diskusi Panel Virus Zika di Universitas Indonesia, Jakarta, Rabu (17/2).
Tjandra juga menjelaskan penetapan status itu lebih ditekankan pada kaitannya dengan mikrosefalus dan kelainan saraf lainnya. Sebab, saat virus zika mewabah di Brazil, angka kasus mikrosefalus juga ikut meningkat.
Sampai saat ini, hubungan antara virus zika dengan mikrosefalus atau kelainan saraf lainnya belum bisa dikonfirmasi. Para peneliti masih mencoba mencari tahu kebenaran dugaan tersebut.
Meski belum ditemukan kaitannya, masyarakat diminta waspada. Apalagi jika tinggal di daerah atau dekat dengan daerah tempat virus tersebut mewabah.
"Kita perlu hati-hati saat ini walaupun belum ada bukti yang jelas," ujar Tjandra.
Walaupun tidak banyak ditemukan kasus virus zika di Indonesia, tapi sebenarnya Indonesia termasuk ke dalam negara yang terindikasi sebagai tempat sirkulasi virus.
Dokter spesialis penyakit tropik dan Infeksi dari Universitas Indonesia, Leonard Nainggolan, mengatakan hal itu disebabkan pernah ditemukannya satu kasus zika di Indonesia pada 2015 lalu, tepatnya di Jambi.
"Indonesia dianggap negara yang penduduknya tertular di dalam (di Indonesia) karena pernah ditemukan kasus itu," kata Leonard.
Selain itu, vektor pembawa virus zika yaitu nyamuk yang memiliki gen Aedes senang berkembang biak di daerah tropis, termasuk Indonesia.
Virus zika memang tidak lebih berbahaya dibandingkan dengue, namun Kementerian Kesehatan mengimbau masyarakat untuk tetap waspada menanggapi penyebaran virus tersebut.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes RI, Oscar Primadi pun menyarankan agar masyarakat melakukan pencegahan menggunakan cara yang tidak jauh berbeda dengan pencegahan demam berdarah.
"Soal virus Zika, kita memang harus waspada. Caranya dengan pencegahan, yakni pemberantasan sarang nyamuk karena sama seperti DBD, menularnya juga lewat aedes aegypti," ujar Oscar.
No comments:
Post a Comment