Jakarta, CNN Indonesia -- "Tuk..tuk..tuk.." Suara alu kayu yang beradu dengan lumpang seakan memenuhi ruangan besar dari kayu. Dua orang ibu-ibu paruh baya seolah mengadu tenaga dengan lumpang demi mengubah beras ketan butiran menjadi tepung. Saat sudah halus, mereka mengayak tepung ketan dalam saringan berukuran super kecil sebanyak dua kali. Ini dilakukannya sebanyak dua kali demi menjaga kehalusan bahan utama pembuat kue keranjang ini. Satu pekerja bisa menumbuk 10 liter beras ketan dalam satu hari.
Tak jauh dari ruangan kayu besar ini, tepatnya di bagian dapur yang panas dan penuh dengan uap panas, dua kelompok besar ibu-ibu duduk berbaris sembari melipat dan membungkus keranjang dengan daun pisang. Keranjang kecil inilah yang digunakan sebagai cetakan kue keranjang.
"Ini namanya ngelangko," kata perempuan yang disapa Ibu Boni kepada Cnnindonesia.com dalam kunjungan ke pabrik kue keranjang Ny. Lauw bersama ACMI beberapa waktu lalu.
Ibu Boni adalah salah satu dari sekitar 60-an pekerja di pabrik rumahan kue keranjang Ny. Lauw, Tangerang. Sembari bercanda dengan teman-teman lainnya, tangannya dengan lincah melipat, menggunting daun pisang.
Ini bukanlah pengalaman pertama bagi ibu Boni 'ngelangko.' Ini adalah tahun ke-40-nya menjalankan 'profesi' ini.
"Saya di sini dari lulus kelas tiga SD, itu tahun 1976," ucapnya dengan logat Betawi yang kental.
Dengan ramah, perempuan berhijab ini menambahkan saat masih muda, dia sudah ikut bekerja di pabrik ini sampai saat dipegang generasi ke-tiga Ny. Lauw, Reni dan suaminya.
Selama 40 tahun, perempuan yang terlihat masih bugar ini tak melulu selalu berkutat dengan daun pisang untuk pembungkus saja. "Dulu ikut mulung dodol, iket dodol," ujarnya.
"Sekarang semuanya sudah ada bagian masing-masing. Ada yang mengaduk dodol, ada yang motongin daun dan plastik, yang numbuk juga ada di depan."
Pembagian pekerjaan ini diakui dia membuat alur pekerjaan jadi lebih mudah dan teratur. Tak dimungkiri, jelang Imlek, jumlah permintaan kue keranjang pun meningkat. Reni, generasi penerus usaha Kue Keranjang Ny. Lauw, sembilan hari jelang Imlek, produksi kue keranjangnya bisa mencapai satu ton per hari. Bahkan jumlah sebanyak ini tak akan bertahan sampai dua minggu.
Angka permintaan kue keranjang ini memang fantastis, namun pasti juga terdengar melelahkan untuk dijalani. Bayangkan, bagaimana lelahnya harus menggarang (melayukan daun pisang), menggunting dan melapisi keranjang untuk membuat satu ton kue setiap hari. Namun, bagi ibu Boni dan kawan-kawan yang tinggal di dekat pabrik, ini adalah panggilan rezeki mereka, meskipun hanya setahun sekali.
"Saya setahun sekali pas Imlek saja ikut bantuin bikin kue keranjang. Tapi dulu saya ikut tinggal di sini, nginep di sini. Enggal pulang-pulang, di sini aja," katanya.
Beberapa pekerja memang tidak semuanya pulang ke rumah. Beberapa dari mereka memilih untuk menginap di pabrik. "Mess" pekerja yang dimaksud adalah ruang kayu besar yang digunakan untuk menumbuk beras ketan. Di sisi kiri, terdapat sebuah balai-balai bambu luas yang bisa digunakan untuk tidur.
"Tapi udah nikah, udah punya anak saya enggak tinggal di sini lagi," katanya menjelaskan.
"Sekarang mah, setahun sekali aja."
Setiap harinya, para pekerja, termasuk dirinya mulai bekerja mulai pukul 05.00 WIB. Mereka melakukan tugasnya masing-masing. Saat jam makan siang tiba, beberapa orang ibu-ibu sudah memasak nasi satu dandang besar, satu wajan besar sayur dan satu wajan besar lauk. Semua pekerja memang sudah disiapkan makan siang.
Saat jam kerjanya selesai, para pekerja yang sebagian besar ibu-ibu ini akan kembali ke rumah masing-masing atau ke tempat istirahatnya.
Nantinya, saat pekerjaan setahun sekalinya usai, para pekerja musiman di pabrik rumahan kue keranjang ini akan kembali ke aktivitasnya masing-masing. Tahun depan jelak Imlek mereka akan kembali berkumpul dan bekerja kembali mengolah kue keranjang, meski pun mereka tak merayakan Imlek.
Tak jauh dari ruangan kayu besar ini, tepatnya di bagian dapur yang panas dan penuh dengan uap panas, dua kelompok besar ibu-ibu duduk berbaris sembari melipat dan membungkus keranjang dengan daun pisang. Keranjang kecil inilah yang digunakan sebagai cetakan kue keranjang.
"Ini namanya ngelangko," kata perempuan yang disapa Ibu Boni kepada Cnnindonesia.com dalam kunjungan ke pabrik kue keranjang Ny. Lauw bersama ACMI beberapa waktu lalu.
Ibu Boni adalah salah satu dari sekitar 60-an pekerja di pabrik rumahan kue keranjang Ny. Lauw, Tangerang. Sembari bercanda dengan teman-teman lainnya, tangannya dengan lincah melipat, menggunting daun pisang.
Ini bukanlah pengalaman pertama bagi ibu Boni 'ngelangko.' Ini adalah tahun ke-40-nya menjalankan 'profesi' ini.
"Saya di sini dari lulus kelas tiga SD, itu tahun 1976," ucapnya dengan logat Betawi yang kental.
Dengan ramah, perempuan berhijab ini menambahkan saat masih muda, dia sudah ikut bekerja di pabrik ini sampai saat dipegang generasi ke-tiga Ny. Lauw, Reni dan suaminya.
Selama 40 tahun, perempuan yang terlihat masih bugar ini tak melulu selalu berkutat dengan daun pisang untuk pembungkus saja. "Dulu ikut mulung dodol, iket dodol," ujarnya.
"Sekarang semuanya sudah ada bagian masing-masing. Ada yang mengaduk dodol, ada yang motongin daun dan plastik, yang numbuk juga ada di depan."
Pembagian pekerjaan ini diakui dia membuat alur pekerjaan jadi lebih mudah dan teratur. Tak dimungkiri, jelang Imlek, jumlah permintaan kue keranjang pun meningkat. Reni, generasi penerus usaha Kue Keranjang Ny. Lauw, sembilan hari jelang Imlek, produksi kue keranjangnya bisa mencapai satu ton per hari. Bahkan jumlah sebanyak ini tak akan bertahan sampai dua minggu.
Angka permintaan kue keranjang ini memang fantastis, namun pasti juga terdengar melelahkan untuk dijalani. Bayangkan, bagaimana lelahnya harus menggarang (melayukan daun pisang), menggunting dan melapisi keranjang untuk membuat satu ton kue setiap hari. Namun, bagi ibu Boni dan kawan-kawan yang tinggal di dekat pabrik, ini adalah panggilan rezeki mereka, meskipun hanya setahun sekali.
"Saya setahun sekali pas Imlek saja ikut bantuin bikin kue keranjang. Tapi dulu saya ikut tinggal di sini, nginep di sini. Enggal pulang-pulang, di sini aja," katanya.
Beberapa pekerja memang tidak semuanya pulang ke rumah. Beberapa dari mereka memilih untuk menginap di pabrik. "Mess" pekerja yang dimaksud adalah ruang kayu besar yang digunakan untuk menumbuk beras ketan. Di sisi kiri, terdapat sebuah balai-balai bambu luas yang bisa digunakan untuk tidur.
"Tapi udah nikah, udah punya anak saya enggak tinggal di sini lagi," katanya menjelaskan.
"Sekarang mah, setahun sekali aja."
Setiap harinya, para pekerja, termasuk dirinya mulai bekerja mulai pukul 05.00 WIB. Mereka melakukan tugasnya masing-masing. Saat jam makan siang tiba, beberapa orang ibu-ibu sudah memasak nasi satu dandang besar, satu wajan besar sayur dan satu wajan besar lauk. Semua pekerja memang sudah disiapkan makan siang.
Saat jam kerjanya selesai, para pekerja yang sebagian besar ibu-ibu ini akan kembali ke rumah masing-masing atau ke tempat istirahatnya.
Nantinya, saat pekerjaan setahun sekalinya usai, para pekerja musiman di pabrik rumahan kue keranjang ini akan kembali ke aktivitasnya masing-masing. Tahun depan jelak Imlek mereka akan kembali berkumpul dan bekerja kembali mengolah kue keranjang, meski pun mereka tak merayakan Imlek.
suasana ruangan pelipat daun pisang (CNN Indonesia/Christina Andhika Setyanti)
|
No comments:
Post a Comment