Jakarta, CNN Indonesia -- Beberapa ahli kesehatan senior mengatakan ancaman virus Zika bisa lebih parah dibandingkan virus Ebola yang sempat mewabah di Afrika beberapa waktu lalu. Hal tersebut disebabkan infeksi virus Zika tidak khas.
"Dalam beberapa hal, Zika bisa lebih buruk dibandingkan epidemik Ebola pada 2014-2015 lalu. Kebanyakan virusnya menjangkit tanpa gejala. Apalagi infeksinya yang diam-diam, pada kelompok tertentu sepeti ibu hamil, menyebabkan dampak yang mengerikan pada bayi mereka," kata pakar kesehatan sekaligus Ketua Lembaga Amal Riset Biomedis Wellcome Trust Jeremy Farrar dikutip dari The Guardian.
Setidaknya, 80 persen dari kasus infeksi virus Zika sulit diketahui gejalanya. Akibatnya, sangat sulit untuk melacak penyakit tersebut.
Belum lagi perkembangan vektor pembawa virus Zika, yaitu nyamuk Aedes aegypti berkembang sangat luas dalam beberapa dekade ini. Hal tersebut pun turut menyumbang kekhawatiran.
"Nyamuk itu menyukai kehidupan perkotaan dan menyebar di seluruh sabuk tropis dunia. Sabuk tropis itu semakin hari semakin melebar akibar adanya pemanasan global," ujar Farrar.
Belum adanya vaksin juga dinilai turut memperkeruh suasana. Setidaknya dalam waktu dekat vaksin untuk Zika belum bisa diperoleh. Berbeda dengan Ebola yang sudah diujicobakan tahun lalu.
Yang lebih menakutkan lagi, vaksin Zika nantinya juga harus diujicobakan pada ibu hamil karena dampak infeksi Zika terparah dirasakan oleh ibu hamil. Menurut Kepala Infeksi dan Imunobiologi Wellcome Trust Mike Turner, hal ini akan menimbulkan masalah etika.
"Masalah yang sebenarnya adalah mencoba mengembangkan vaksin yang harus diujicobakan kepada ibu hamil. Secara praktik dan etika, itu mengerikan," kata Turner.
Turner juga mengatakan, hanya langkah-langkah ekstrem yang bisa mengatasi Zika, seperti penggunaan DDT (dichloro diphenyl trichloroethane). DDT merupakan insektisida yang digunakan untuk memberantas tuma pembawa virus tipus dan juga nyamuk yang biasa menyebarkan malaria dan penyakit kuning.
Insektisida itu dinilai bisa memberantas Aedes aegypti dengan cepat. "Kita harus menyeimbangkan risiko yang ditimbulkan oleh DDT terhadap lingkungan dan dampaknya yang mengerikan pada bayi-bayi yang belum lahir," ujar Turner.
Hari ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akan menggelar pertemuan darurat untuk menemukan cara melawan virus Zika. WHO telah mengklasifikasikan wabah Zika di 25 negara dan wilayah sebagai keadaan darurat kesehatan masyarakat yang sudah seharusnya jadi perhatian internasional.
"Deklarasi darurat yang dilemparkan oleh WHO merupakan sebuah sorotan untuk mengatakan pada dunia bahwa ini adalah hal yang harus diperhatikan," kata Wakil Direktur Georgetown University's O’Neill Institute for National and Global Health Law di, Susan Kim, dikutip dari USA Today.
Virus Zika sudah ditemukan sejak 1974 di Uganda. Virus ini tidak memiliki dampak yang lebih berbahaya dibandingkan demam berdarah yang bisa menyebabkan kematian. Gejalanya pun ringan, seperti demam, bintik merah pada kulit, sakit kepala, nyeri sendi, tidak berenergi, lemah, dan mata memerah.
Gejala tersebut biasanya terlihat setelah 3-12 hari setelah seseorang digigit nyamuk yang membawa virus tersebut. Sementara gejalanya akan bertahan selama 2-7 hari. Virus Zika juga tidak akan mengakibatkan komplikasi yang fatal pada orang dewasa dan anak-anak.
Virus Zika mendadak populer ketika di Brasil ditemukan kasus kelahiran bayi dengan mikrosefali dari seorang ibu yang mengidap virus Zika. Mikrosefali merupakan kondisi neurologis langka yang menyebabkan lingkar kepala bayi berukuran lebih kecil dari ukuran kepala bayi pada umumnya.
"Dalam beberapa hal, Zika bisa lebih buruk dibandingkan epidemik Ebola pada 2014-2015 lalu. Kebanyakan virusnya menjangkit tanpa gejala. Apalagi infeksinya yang diam-diam, pada kelompok tertentu sepeti ibu hamil, menyebabkan dampak yang mengerikan pada bayi mereka," kata pakar kesehatan sekaligus Ketua Lembaga Amal Riset Biomedis Wellcome Trust Jeremy Farrar dikutip dari The Guardian.
Setidaknya, 80 persen dari kasus infeksi virus Zika sulit diketahui gejalanya. Akibatnya, sangat sulit untuk melacak penyakit tersebut.
Belum lagi perkembangan vektor pembawa virus Zika, yaitu nyamuk Aedes aegypti berkembang sangat luas dalam beberapa dekade ini. Hal tersebut pun turut menyumbang kekhawatiran.
"Nyamuk itu menyukai kehidupan perkotaan dan menyebar di seluruh sabuk tropis dunia. Sabuk tropis itu semakin hari semakin melebar akibar adanya pemanasan global," ujar Farrar.
Belum adanya vaksin juga dinilai turut memperkeruh suasana. Setidaknya dalam waktu dekat vaksin untuk Zika belum bisa diperoleh. Berbeda dengan Ebola yang sudah diujicobakan tahun lalu.
Yang lebih menakutkan lagi, vaksin Zika nantinya juga harus diujicobakan pada ibu hamil karena dampak infeksi Zika terparah dirasakan oleh ibu hamil. Menurut Kepala Infeksi dan Imunobiologi Wellcome Trust Mike Turner, hal ini akan menimbulkan masalah etika.
"Masalah yang sebenarnya adalah mencoba mengembangkan vaksin yang harus diujicobakan kepada ibu hamil. Secara praktik dan etika, itu mengerikan," kata Turner.
Turner juga mengatakan, hanya langkah-langkah ekstrem yang bisa mengatasi Zika, seperti penggunaan DDT (dichloro diphenyl trichloroethane). DDT merupakan insektisida yang digunakan untuk memberantas tuma pembawa virus tipus dan juga nyamuk yang biasa menyebarkan malaria dan penyakit kuning.
Insektisida itu dinilai bisa memberantas Aedes aegypti dengan cepat. "Kita harus menyeimbangkan risiko yang ditimbulkan oleh DDT terhadap lingkungan dan dampaknya yang mengerikan pada bayi-bayi yang belum lahir," ujar Turner.
Hari ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akan menggelar pertemuan darurat untuk menemukan cara melawan virus Zika. WHO telah mengklasifikasikan wabah Zika di 25 negara dan wilayah sebagai keadaan darurat kesehatan masyarakat yang sudah seharusnya jadi perhatian internasional.
"Deklarasi darurat yang dilemparkan oleh WHO merupakan sebuah sorotan untuk mengatakan pada dunia bahwa ini adalah hal yang harus diperhatikan," kata Wakil Direktur Georgetown University's O’Neill Institute for National and Global Health Law di, Susan Kim, dikutip dari USA Today.
Virus Zika sudah ditemukan sejak 1974 di Uganda. Virus ini tidak memiliki dampak yang lebih berbahaya dibandingkan demam berdarah yang bisa menyebabkan kematian. Gejalanya pun ringan, seperti demam, bintik merah pada kulit, sakit kepala, nyeri sendi, tidak berenergi, lemah, dan mata memerah.
Gejala tersebut biasanya terlihat setelah 3-12 hari setelah seseorang digigit nyamuk yang membawa virus tersebut. Sementara gejalanya akan bertahan selama 2-7 hari. Virus Zika juga tidak akan mengakibatkan komplikasi yang fatal pada orang dewasa dan anak-anak.
Virus Zika mendadak populer ketika di Brasil ditemukan kasus kelahiran bayi dengan mikrosefali dari seorang ibu yang mengidap virus Zika. Mikrosefali merupakan kondisi neurologis langka yang menyebabkan lingkar kepala bayi berukuran lebih kecil dari ukuran kepala bayi pada umumnya.
No comments:
Post a Comment