Jakarta, CNN Indonesia -- Akibat gegar otak yang sering dideritanya, seorang pemuda pemain sepak bola harus meregang nyawa karena penyakit degeneratif pada otaknya. Padahal penyakit seperti itu biasanya dialami orang yang telah berumur lanjut, sedangkan ia baru 25 tahun.
Penyakit otak yang menyerangnya bernama chronic traumatic encephalopathy (CTE), terjadi pada orang yang mengalami trauma berulang pada otaknya. Para peneliti mengatakan, CTE hanya bisa didiagnosis lewat otopsi.
Kasus yang menyerang atlet sepak bola muda tersebut juga merupakan kasus CTE langka karena telah menyerangnya di waktu muda. Walaupun sebenarnya, kata peneliti, tanda-tanda dan perkembangan penyakit ini telah diketahui sejak usia 17 tahun.
"Atlet ini hanya salah satu mantan atlet olahraga dengan kontak fisik tinggi, yang juga pernah bermain dalam American Football, yang terbukti mengidap ETC ketika diotopsi," kata salah satu penulis jurnal JAMA Neurologi, James M. Noble.
"Beberapa mantan atlet meskipun masih muda tapi telah terindentifikasi dengan temuan patologi tersebut," kata Noble yang merupakan ahli saraf di Colombia University.
Para peneliti juga menemukan ada infeksi bakteri pada hati pemain sepak bola muda itu. Selain itu, mereka juga mewawancarai keluarga sang atlet dan melihat hasil tes neuropsikologis yang dilakukan ketika pemuda tersebut berumur 24 tahun.
Dari hasil penelitiannya, para peneliti mengatakan pemuda itu mulai main sepak bola ketika ia berumur enam tahun hingga 16 tahun kemudian. Ia pun pernah 10 kali gegar otak ketika bermain bola.
Pemuda itu mengalami gegar otak pertamanya pada saat berusia 8 tahun. Kemungkinan besar, ia juga mengalami kerusakan otak saat itu. Kerusakan itu dinilai lebih berbahaya ketika terjadi pada usia muda dibandingkan ketika sudah dewasa.
Dalam salah satu kecelakaan yang dialami ketika baru saja duduk di bangku kuliah, ia pun sempat kehilangan kesadaran sesaat dan mengalami sakit kepala berkelanjutan, penglihatannya menurun, insomnia, dan masalah memori lainnya.
Kendati tengah berusaha untuk mengobati gejala tersebut, masalah itu tetap ada. Dan akhirnya ia berhenti bermain sepak bola. Sang pemuda mengakhiri sekolahnya dengan IPK 1,9, akibat fungsi otak yang menurun.
Tak hanya itu, beberapa gejala lain juga dideritanya, seperti lesu, nafsu makan menurun, dan muncul pemikiran-pemikiran untuk bunuh diri. Ia juga mengalami kesulitan dalam bekerja dan mulai menggunakan obat-obatan terlarang, termasuk ganja, untuk membantunya bertahan dari sakit kepala dan membantunya tidur. Secara verbal, ia juga lebih agresif, bahkan melakukan kekerasan fisik terhadap istrinya.
Tapi, bagaimanapun, Noble mengatakan masih banyak pertanyaan yang tidak terjawab tentang penyakit ini. Ia belum menemukan bukti yang kuat mengapa 10 persen altlet yang menderita gegar otak sembuh lebih lama dari biasanya. Dan masih menjadi pertanyaan besar juga mengapa CTE lebih banyak menimpa para atlet.
Penyakit otak yang menyerangnya bernama chronic traumatic encephalopathy (CTE), terjadi pada orang yang mengalami trauma berulang pada otaknya. Para peneliti mengatakan, CTE hanya bisa didiagnosis lewat otopsi.
Kasus yang menyerang atlet sepak bola muda tersebut juga merupakan kasus CTE langka karena telah menyerangnya di waktu muda. Walaupun sebenarnya, kata peneliti, tanda-tanda dan perkembangan penyakit ini telah diketahui sejak usia 17 tahun.
"Atlet ini hanya salah satu mantan atlet olahraga dengan kontak fisik tinggi, yang juga pernah bermain dalam American Football, yang terbukti mengidap ETC ketika diotopsi," kata salah satu penulis jurnal JAMA Neurologi, James M. Noble.
"Beberapa mantan atlet meskipun masih muda tapi telah terindentifikasi dengan temuan patologi tersebut," kata Noble yang merupakan ahli saraf di Colombia University.
Para peneliti juga menemukan ada infeksi bakteri pada hati pemain sepak bola muda itu. Selain itu, mereka juga mewawancarai keluarga sang atlet dan melihat hasil tes neuropsikologis yang dilakukan ketika pemuda tersebut berumur 24 tahun.
Dari hasil penelitiannya, para peneliti mengatakan pemuda itu mulai main sepak bola ketika ia berumur enam tahun hingga 16 tahun kemudian. Ia pun pernah 10 kali gegar otak ketika bermain bola.
Pemuda itu mengalami gegar otak pertamanya pada saat berusia 8 tahun. Kemungkinan besar, ia juga mengalami kerusakan otak saat itu. Kerusakan itu dinilai lebih berbahaya ketika terjadi pada usia muda dibandingkan ketika sudah dewasa.
Dalam salah satu kecelakaan yang dialami ketika baru saja duduk di bangku kuliah, ia pun sempat kehilangan kesadaran sesaat dan mengalami sakit kepala berkelanjutan, penglihatannya menurun, insomnia, dan masalah memori lainnya.
Kendati tengah berusaha untuk mengobati gejala tersebut, masalah itu tetap ada. Dan akhirnya ia berhenti bermain sepak bola. Sang pemuda mengakhiri sekolahnya dengan IPK 1,9, akibat fungsi otak yang menurun.
Tak hanya itu, beberapa gejala lain juga dideritanya, seperti lesu, nafsu makan menurun, dan muncul pemikiran-pemikiran untuk bunuh diri. Ia juga mengalami kesulitan dalam bekerja dan mulai menggunakan obat-obatan terlarang, termasuk ganja, untuk membantunya bertahan dari sakit kepala dan membantunya tidur. Secara verbal, ia juga lebih agresif, bahkan melakukan kekerasan fisik terhadap istrinya.
Tapi, bagaimanapun, Noble mengatakan masih banyak pertanyaan yang tidak terjawab tentang penyakit ini. Ia belum menemukan bukti yang kuat mengapa 10 persen altlet yang menderita gegar otak sembuh lebih lama dari biasanya. Dan masih menjadi pertanyaan besar juga mengapa CTE lebih banyak menimpa para atlet.
No comments:
Post a Comment