Jakarta, CNN Indonesia -- Seorang perempuan asal Michigan, Amerika Serikat, mengungkap dia terpaksa mendekam di rumah karena kondisi genetik yang membuatnya merasa seperti terbakar hidup-hidup dari dalam tubuh.
Samara Rose Ingraffia mengidap suatu kondisi yang disebut sebagai erythomelalgia atau sindrom manusia terbakar. Kondisi tersebut membuat dia merasa terus-menerus seperti mengalami luka bakar tingkat dua.
Sebagai tambahan, perempuan 25 tahun tersebut juga menderita sindrom Renauld, kondisi yang sama langkanya yang membuat tubuhnya bereaksi secara dramatis terhadap penurunan suhu yang terkecil sekalipun.
Samara mengatakan dirinya tidak tahu seperti apa bagian terburuk dari kondisi itu. “(Penyakit) ini memengaruhi semua hal dalam hidup saya. Sangat menjengkelkan seperti terbakar hidup-hidup. Ini seperti neraka di bumi.”
Penderitaan itu bermula saat usianya 9 tahun. Butuh waktu bertahun-tahun sampai akhirnya dia terdiagnosa dengan erythomelalgia, di samping kenyataan bahwa sang ayah juga menderita kondisi yang sama.
Keluarganya mengatakan mereka telah mengunjungi lebih dari 100 dokter sebelum akhirnya penyakit Samara dijelaskan. Akibat hal itu, proses belajar konvensional menjadi hal yang mustahil, karena panas di ruang kelas menyebabkan rasa nyeri yang tak tertahankan. Sejak itu, dia menjalani homeschooling.
Ayah Samara, Brian (53), juga menderita sindrom erythomelalgia dan Renauld seperti putrinya. Dia juga tidak boleh keluar rumah. "Mengetahui putri saya harus melewati kondisi yang bahkan lebih menyakitkan dari yang saya alami sangatlah menyedihkan," kata dia.
Brian yang seorang profesor itu bahkan harus melakukan penelitian sendiri untuk kondisinya. Dia mengatakan, “Setiap kali ada peningkatan suhu, tubuh akan bereaksi berlebihan dan membanjiri darah ke kulit. Darah kemudian terjebak di kulit sehingga menyebabkan nyeri saraf mengerikan,” jelasnya.
“Kapan pun seorang pengidap sindrom Renauld terpapar suhu yang lebih panas, darah akan tertarik dari kulit, menyebabkan semacam rasa terbakar. Ketika saya terpapar suhu di atas 16 derajat celsius, khususnya ketika saya melakukan sedikit gerakan, rasanya seperti di dalam oven.”
Samara Rose Ingraffia mengidap suatu kondisi yang disebut sebagai erythomelalgia atau sindrom manusia terbakar. Kondisi tersebut membuat dia merasa terus-menerus seperti mengalami luka bakar tingkat dua.
Sebagai tambahan, perempuan 25 tahun tersebut juga menderita sindrom Renauld, kondisi yang sama langkanya yang membuat tubuhnya bereaksi secara dramatis terhadap penurunan suhu yang terkecil sekalipun.
Samara mengatakan dirinya tidak tahu seperti apa bagian terburuk dari kondisi itu. “(Penyakit) ini memengaruhi semua hal dalam hidup saya. Sangat menjengkelkan seperti terbakar hidup-hidup. Ini seperti neraka di bumi.”
Penderitaan itu bermula saat usianya 9 tahun. Butuh waktu bertahun-tahun sampai akhirnya dia terdiagnosa dengan erythomelalgia, di samping kenyataan bahwa sang ayah juga menderita kondisi yang sama.
Keluarganya mengatakan mereka telah mengunjungi lebih dari 100 dokter sebelum akhirnya penyakit Samara dijelaskan. Akibat hal itu, proses belajar konvensional menjadi hal yang mustahil, karena panas di ruang kelas menyebabkan rasa nyeri yang tak tertahankan. Sejak itu, dia menjalani homeschooling.
Ayah Samara, Brian (53), juga menderita sindrom erythomelalgia dan Renauld seperti putrinya. Dia juga tidak boleh keluar rumah. "Mengetahui putri saya harus melewati kondisi yang bahkan lebih menyakitkan dari yang saya alami sangatlah menyedihkan," kata dia.
Brian yang seorang profesor itu bahkan harus melakukan penelitian sendiri untuk kondisinya. Dia mengatakan, “Setiap kali ada peningkatan suhu, tubuh akan bereaksi berlebihan dan membanjiri darah ke kulit. Darah kemudian terjebak di kulit sehingga menyebabkan nyeri saraf mengerikan,” jelasnya.
“Kapan pun seorang pengidap sindrom Renauld terpapar suhu yang lebih panas, darah akan tertarik dari kulit, menyebabkan semacam rasa terbakar. Ketika saya terpapar suhu di atas 16 derajat celsius, khususnya ketika saya melakukan sedikit gerakan, rasanya seperti di dalam oven.”
No comments:
Post a Comment