Jakarta, CNN Indonesia -- Mengobati korban Ebola dengan plasma darah yang disumbangkan oleh korban selamat Ebola gagal meningkatkan pemulihan dari virus mematikan tersebut, berdasarkan uji lapangan pengobatan eksperimental, seperti dilaporkan Reuters.
Kesimpulan tersebut berdasarkan kasus dari 84 korban Ebola yang diobati dengan plasma di Conakry, Guinea. Harapannya, antibodi di cairan tersebut dapat membantu pasien melawan virus, seperti yang mereka lakukan pada pendonor yang berhasil bertahan dari virus tersebut.
Tingkat kematian setelah diobati dengan plasma darah adalah 31 persen. Sementara tingkat kematian pada kelompok kontrol, yakni 418 penderita yang diobati di pusat kesehatan yang sama tapi tidak menerima plasma korban selamat Ebola, adalah 38 persen, berdasarkan hasil penelitian di New England Journal of Medicine.
Ketika para peneliti menyesuaikan dengan faktor lain yang dapat memengaruhi kelangsungan hidup, misalnya usia korban, efek terapi plasma bahkan kurang mengesankan.
“Tentu saja Anda mengharapkan penurunan kematian yang sangat kuat, tapi kami tidak melihat hal ini,” kata Johan van Griensven dari Institut of Tropical Medicine di Antwerp, Belgium, seperti dilaporkan oleh Reuters.
Keterbatasan studi ini adalah tidak diketahui seberapa banyak antibodi pelawan virus di plasma donor. Karena penyakit virus Ebola, atau EVD, sangat berbahaya, maka analis perlu mengujinya di laboratorium dengan peralatan keselamatan. Sayangnya peralatan tersebut tidak tersedia di negara yang terkena dampak Ebola, kata para peneliti dalam studinya.
Spesialis penyakit infeksi William Schaffner di Vanderbilt University Medical Center di Nashville mengatakan, “Fakta tidak adanya keuntungan yang terlihat pada plasma darah bukan berarti bahwa antibodi Ebola bukan merupakan pengobatan yang baik.”
Plasma darah para pendonor mungkin belum sepenuhnya pulih, ujarnya, jadi cairan (plasma) mungkin tidak kaya akan antibodi.
Kesimpulan tersebut berdasarkan kasus dari 84 korban Ebola yang diobati dengan plasma di Conakry, Guinea. Harapannya, antibodi di cairan tersebut dapat membantu pasien melawan virus, seperti yang mereka lakukan pada pendonor yang berhasil bertahan dari virus tersebut.
Tingkat kematian setelah diobati dengan plasma darah adalah 31 persen. Sementara tingkat kematian pada kelompok kontrol, yakni 418 penderita yang diobati di pusat kesehatan yang sama tapi tidak menerima plasma korban selamat Ebola, adalah 38 persen, berdasarkan hasil penelitian di New England Journal of Medicine.
Ketika para peneliti menyesuaikan dengan faktor lain yang dapat memengaruhi kelangsungan hidup, misalnya usia korban, efek terapi plasma bahkan kurang mengesankan.
“Tentu saja Anda mengharapkan penurunan kematian yang sangat kuat, tapi kami tidak melihat hal ini,” kata Johan van Griensven dari Institut of Tropical Medicine di Antwerp, Belgium, seperti dilaporkan oleh Reuters.
Keterbatasan studi ini adalah tidak diketahui seberapa banyak antibodi pelawan virus di plasma donor. Karena penyakit virus Ebola, atau EVD, sangat berbahaya, maka analis perlu mengujinya di laboratorium dengan peralatan keselamatan. Sayangnya peralatan tersebut tidak tersedia di negara yang terkena dampak Ebola, kata para peneliti dalam studinya.
Spesialis penyakit infeksi William Schaffner di Vanderbilt University Medical Center di Nashville mengatakan, “Fakta tidak adanya keuntungan yang terlihat pada plasma darah bukan berarti bahwa antibodi Ebola bukan merupakan pengobatan yang baik.”
Plasma darah para pendonor mungkin belum sepenuhnya pulih, ujarnya, jadi cairan (plasma) mungkin tidak kaya akan antibodi.
No comments:
Post a Comment