Jakarta, CNN Indonesia -- Berapa banyak uang yang Anda habiskan untuk membeli obat dalam setahun? Yang jarang sakit maka jarang juga menghitung banyaknya uang yang dihabiskan di apotek dan toko obat dalam setahun. Akan berbeda kondisinya dengan yang memiliki penyakit dan harus berada dalam terapi obat.
Namun, dalam pertemuan International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) di Intercontinental Hotel Jakarta Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Rabu (3/2), ketua IPMG, Luthfi Mardiansyah menyatakan bahwa Indonesia tergolong sedikit dalam mengonsumsi obat-obatan.
"Pasar farmasi Indonesia memang mengalami peningkatan 7,9 persen pada 2015 lalu," kata Luthfie dalam pemaparannya tentang Outlook Industri Farmasi 2016.
"Jumlah yang didapat mencapai Rp80 triliun, bila dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia sebesar 250 juta, maka per kapita hanya sekitar US$24, itu termasuk sedikit dibanding tetangga."
“Tetangga” yang dimaksud Luthfi adalah negara-negara di kawasan Asia. IPMG menyebutkan dalam rilisnya bahwa Filipina memiliki konsumsi obat lebih tinggi, yaitu US$50.
Sedangkan Vietnam memiliki konsumsi obat hingga US$100. Bahkan pada 2010, Indonesia tercatat sebagai negara dengan konsumsi obat terendah di Asia, yaitu per kapita senilai US$20.
Kenaikan konsumsi obat yang terjadi dinilai disebabkan pemberlakuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejak 2014, yang memberikan kesempatan lebih luas bagi masyarakat dalam menjangkau obat. Meski begitu, IPMG menilai bahwa JKN belum berjalan baik memenuhi hak masyarakat dalam akses jasa kesehatan.
Belum baiknya nilai JKN berpasal masih banyaknya masalah yang ada terkait jaminan yang muncul per 1 Januari 2014, seperti defisit JKN hingga Rp5,65 triliun karena klaim yang membludak tapi minim pemasukan, hingga masalah fasilitas dan layanan yang belum memadai.
"Mekanisme pemberian obat juga belum maksimal, pemerintah lebih memilih menggunakan obat murah yang sebenarnya justru menjadikan biaya yang dikeluarkan (pasien untuk perawatan) lebih besar," kata Luthfi.
Pemberian obat yang berbiaya murah sayangnya memiliki efikasi atau respon maksimal yang rendah, menyebabkan pasien terpaksa beli lagi, sehinga tidak efisien.
Kemudian, sistem pemberian obat yang dijamin oleh JKN pada beberapa jenis obat tertentu tidak menyeluruh, atau hanya untuk sementara waktu sehingga pasien diharuskan datang kembali untuk mengambil obat atau membeli sendiri. Kondisi ini yang diyakini menyebabkan pasien yang memiliki JKN mengeluarkan biaya lebih besar lagi untuk penyembuhan.
"Total pembiayaan kesehatan dari pemerintah kini hanya hampir lima persen dari RAPBN, naik dari 2,9 persen sebelumnya." kata Luthfi.
Jatah kesehatan dari pemerintah ini senada dari data yang dibeberkan IPMG, dari total pengeluaran di bidang kesehatan, hanya 40,54 persen yang bersumber dari pemerintah sedangkan dari swasta mencakup 59,46 persen.
Bukan hanya dari dana, sumber daya manusia Indonesia di bidang kesehatan juga masih dinilai IPMG mengalami kekurangan. Dengan 76 sekolah kedokteran di 34 provinsi, Indonesia hanya memiliki 0,4 dokter setiap 1000 penduduk, jauh di bawah standar internasional yang 1,4 dokter setiap seribu orang.
Tapi, Luthfi dan IPMG masih optimists akan pertumbuhan dunia kesehatan Indonesia, terutama dari aspek farmasi. Kebutuhan dan kesadaran orang untuk memiliki jaminan kesehatan menjadi salah satu faktor yang diakuinya dapat meningkatkan konsumsi dan akses kesehatan bagi semua pihak.
Namun, dalam pertemuan International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) di Intercontinental Hotel Jakarta Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Rabu (3/2), ketua IPMG, Luthfi Mardiansyah menyatakan bahwa Indonesia tergolong sedikit dalam mengonsumsi obat-obatan.
"Pasar farmasi Indonesia memang mengalami peningkatan 7,9 persen pada 2015 lalu," kata Luthfie dalam pemaparannya tentang Outlook Industri Farmasi 2016.
"Jumlah yang didapat mencapai Rp80 triliun, bila dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia sebesar 250 juta, maka per kapita hanya sekitar US$24, itu termasuk sedikit dibanding tetangga."
“Tetangga” yang dimaksud Luthfi adalah negara-negara di kawasan Asia. IPMG menyebutkan dalam rilisnya bahwa Filipina memiliki konsumsi obat lebih tinggi, yaitu US$50.
Sedangkan Vietnam memiliki konsumsi obat hingga US$100. Bahkan pada 2010, Indonesia tercatat sebagai negara dengan konsumsi obat terendah di Asia, yaitu per kapita senilai US$20.
Kenaikan konsumsi obat yang terjadi dinilai disebabkan pemberlakuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejak 2014, yang memberikan kesempatan lebih luas bagi masyarakat dalam menjangkau obat. Meski begitu, IPMG menilai bahwa JKN belum berjalan baik memenuhi hak masyarakat dalam akses jasa kesehatan.
Belum baiknya nilai JKN berpasal masih banyaknya masalah yang ada terkait jaminan yang muncul per 1 Januari 2014, seperti defisit JKN hingga Rp5,65 triliun karena klaim yang membludak tapi minim pemasukan, hingga masalah fasilitas dan layanan yang belum memadai.
"Mekanisme pemberian obat juga belum maksimal, pemerintah lebih memilih menggunakan obat murah yang sebenarnya justru menjadikan biaya yang dikeluarkan (pasien untuk perawatan) lebih besar," kata Luthfi.
Pemberian obat yang berbiaya murah sayangnya memiliki efikasi atau respon maksimal yang rendah, menyebabkan pasien terpaksa beli lagi, sehinga tidak efisien.
Kemudian, sistem pemberian obat yang dijamin oleh JKN pada beberapa jenis obat tertentu tidak menyeluruh, atau hanya untuk sementara waktu sehingga pasien diharuskan datang kembali untuk mengambil obat atau membeli sendiri. Kondisi ini yang diyakini menyebabkan pasien yang memiliki JKN mengeluarkan biaya lebih besar lagi untuk penyembuhan.
"Total pembiayaan kesehatan dari pemerintah kini hanya hampir lima persen dari RAPBN, naik dari 2,9 persen sebelumnya." kata Luthfi.
Jatah kesehatan dari pemerintah ini senada dari data yang dibeberkan IPMG, dari total pengeluaran di bidang kesehatan, hanya 40,54 persen yang bersumber dari pemerintah sedangkan dari swasta mencakup 59,46 persen.
Bukan hanya dari dana, sumber daya manusia Indonesia di bidang kesehatan juga masih dinilai IPMG mengalami kekurangan. Dengan 76 sekolah kedokteran di 34 provinsi, Indonesia hanya memiliki 0,4 dokter setiap 1000 penduduk, jauh di bawah standar internasional yang 1,4 dokter setiap seribu orang.
Tapi, Luthfi dan IPMG masih optimists akan pertumbuhan dunia kesehatan Indonesia, terutama dari aspek farmasi. Kebutuhan dan kesadaran orang untuk memiliki jaminan kesehatan menjadi salah satu faktor yang diakuinya dapat meningkatkan konsumsi dan akses kesehatan bagi semua pihak.
No comments:
Post a Comment