Tuesday, 16 February 2016

Gejala Serangan Jantung yang Tak Disadari Perempuan

Gejala Serangan Jantung yang Tak Disadari PerempuanIlustrasi perempuan terkena serangan jantung. (CNNIndonesia GettyImages/ Michael Jung)
Jakarta, CNN Indonesia -- Serangan jantung bukan hanya terjadi pada pria tua yang kelebihan berat badan. Sebuah pernyataan yang dikeluarkan Asosiasi Jantung Amerika (AHA) menemukan bahwa perempuan memiliki risiko yang sama tapi kurang memperhatikan.

Kenyataannya, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) nyaris 50 ribu perempuan meninggal dunia akibat serangan jantung pada 2014. Sekitar 735 ribu warga Amerika terkena serangan jantung tiap tahun, menurut CDC, seperti diberitakan Women’s Health.

Ketika seseorang terkena serangan jantung, hampir dipastikan yang kita bayangkan mereka dua kali lipat menderita nyeri hebat di dada – sinyal yang bisa dipastikan adanya sesuatu yang salah. Padahal gejala serangan jantung pada perempuan bisa jauh lebih halus dibanding pada pria.

Ya, perempuan bisa saja merasakan tekanan atau nyeri di tengah dada, tapi ternyata, perempuan cenderung mengalami nyeri rahang saat terkena serangan jantung.

Gejala lain yang spesifik pada perempuan antara lain nyeri punggung atas, nyeri lengan, kelelahan yang intens, mulas, atau “sekadar tidak enak badan,” ujar Laxmi Mehta, M.D., direktur klinis di Program Kesehatan Kardiovaskuler Perempuan di Wexner Medical Center, Ohio State University dan penulis utama pernyataan AHA tersebut.

Menurut AHA, jika jantung tak memberi sinyal bagus, nyeri dapat menjalar ke rahang, leher, atau punggung. Namun, kata Mehta, belum diketahui mengapa sakit rahang dan ketidaknyamanan di bagian atas tubuh lain lebih sering sebagai gejala pada perempuan, bukan pada pria.

Jadi mengapa perempuan tak mendapatkan perawatan yang mereka perlukan? Menurut AHA, perempuan menunggu sekitar 54 jam sebelum mendatangi dokter, sementara pria menunggu rata-rata hanya 16 jam.

“Perempuan cenderung kurang kesadaran akan besarnya risiko dan terkadang lebih pasif (tentang kesehatan mereka),” ujar Mehta.

Perempuan juga punya lebih banyak halangan untuk mencari perawatan, seperti harus mengurus anak-anak. Padahal semakin lama Anda menunggu untuk mendapat perawatan semakin parah kondisi jantung Anda, kata Mehta.

“Perempuan cenderung mengalami shock kardiogenik,” yang artinya jantung tiba-tiba tak dapat memompa cukup darah, kata Mehta. Jika menunggu terlalu lama, perawatan  agresif bisa jadi tak lagi menjadi pilihan.

Perempuan semua umur berisiko, kata Mehta, dan umumnya, perempuan muda yang pernah terkena serangan jantung tarafnya lebih buruk ketimbang pria muda yang terkena serangan jantung.

Pengidap diabetes tipe 2 dan tekanan darah tinggi adalah yang paling berisiko. AHA juga mencatat bahwa perempuan Afrika-Amerika dan Hispanik punya faktor risiko lebih besar, karena seringnya mereka kurang memiliki kesadaran dan akses pada obat-obatan.

Dari pilihan pengobatan yang ada, dokter akan pertama menilai pasien menggunakan electrocardiagram (EKG) untuk melihat seberapa buruk kerusakan pada jantung, ujar Mehta. Lalu, dia akan diberi obat seperti aspirin, yang membantu mengencerkan darah dan mencegah pembekuan sebelum dokter mencari adanya penyumbatan untuk menentukan tindakan berikutnya.

Begitu dibolehkan pulang, pasien akan diberi aspirin atau beta-blocker dan statin, keduanya untuk menurunkan tekanan darah.

“Kita juga merekomendasikan pasien untuk mendatangi rehabilitasi jantung yang lingkungannya dimonitor dan dikontrol. Program olah raga pun dimulai agar kita dapat mencari irama jantung yang tidak normal,” kata Mehta.

“Mereka harus mengikuti saran dokter untuk menjalankan kegiatan sehari-hari dan meyakinkan tekanan darah dan kolesterol mereka masih dalam rentang normal. Hal-hal itu yang perlu didiskusikan dan dimonitor terus menerus.”

Perempuan juga perlu memperhatikan gejala yang berulang, kata Mehta, karena tingkat serangan jantung lebih tinggi bagi mereka ketimbang bagi pria.

Yang perlu digaribawahi adalah, kata Mehta, “Perempuan sudah pasti perlu mewaspadai gejala dan risiko mereka.”

No comments:

Post a Comment