Menurut pakar hukum tata negara, Refly Harun, bukan tidak mungkin informasi yang sampai ke telinga SBY kurang menyeluruh dan tidak benar. Maka dia pun mendorong berbagai pihak untuk mencari kebenaran fakta yang terjadi di balik aksi Partai Demokrat yang dinilai melukai banyak pihak.
"Kalau ditemukan fakta rapat paripurna itu melanggar katakanlah keadaban politik nasional, melanggar moralitas konstitusi nasional yaitu sengaja didesain sengaja melibatkan aktor-aktor politik tertentu ada money politic-nya untuk kemudian mengelabui presiden, tidak memberikan informasi yang benar kepada presiden," ujar Refly kepada wartawan di Bundaran HI, Jakarta Pusat, Minggu (28/9/2014).
"Maka kemudian saya mengatakan bahwa dengan dasar seperti presiden tetap dapat menyatakan tidak setuju asal fakta itu kuat," imbuhnya.
Menurut Refly, persetujuan presiden memiliki porsi setara dengan dewan legislatif. Sehingga, bila ada fakta yang kuat untuk mendukung keputusan penolakan Presiden SBY, bukan tidak mungkin UU ini bisa dipertimbangkan ulang.
"Apakah ada ketepatan informasi kepada presiden. Kalau memang dibuktikan adanya peneapatan, ada politik uang di sana kemudian ada upaya untuk melokalisir perdebatan ini maka saya katakan SBY cukup bilang tidak setuju. Perkara diterima atau tidak, biarlah MK yang menilai apakah RUU Pilkada bisa disetujui atau tidak," jelas Refly.
Dengan dibawanya gugatan UU Pilkada ini ke ranah hukum melalui Mahkamah Konstitusi (MK), dia memperkirakan ada 2 hal yang diperdebatkan nantinya.
"Nanti akan ada 2 perdebatan, yakni tentang sengketa kewenangan instutisional antara presiden dan DPR lalu kemudian ada judicial review yang mempermasalahkan substansi," terangnya.
"Jadi kalau memang presiden tidak diberikan informasi yang benar, maka untuk sementara dengan menyampaikan menolak UU Pilkada tidak langsung bisa saja. Karena UUD menyatakan persetujuan itu antara presiden dan DPR itu 50:50. Nah (coba kita semua) cari informasi, jangan-jangan dibohongi SBY-nya," sambungnya.
No comments:
Post a Comment