Thursday, 2 October 2014

Jas Merah: Menyelamatkan Kisah-kisah Sepakbola Nasional yang Tercecer

Zen RS - detikSport
          

thumbnail

Judul buku: Jas Merah, Sisi Lain Sepak Bola Nasional
Penulis: Dedi Rinaldi, Arief Natakusumah, Broto Happy, dkk.
Penerbit: PT Tunas Bola
Edisi: I, April 2014
Tebal: 242 halaman
Harga: Rp. 75.000

====

Buku Jas Merah: Sisi Lain Sejarah Sepak Bola Nasional dibuka dengan cara yang kurang meyakinkan: menyebut jurnal yang ditulis seorang pegawai Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) pada 1870 sebagai (bisa jadi) laporan pertama yang menyebut keberadaan sepakbola di Indonesia.

Seperti yang sudah saya tulis setahun lalu dalam esai berjudul "Nusantara Bermain Bola", keberadaan permainan yang menyerupai sepakbola sudah jauh lebih lama dari itu. Dan kesaksian tertulis tentang permainan macam itu pun sudah ada ratusan tahun sebelum 1870.

Marcopolo sudah mencatatkan kesaksiannya bahwa orang-orang di kawasan Asia Tenggara, juga di Nusantara, sudah banyak yang bermain sepakbola [atau sepakraga] dengan menggunakan rotan. Saat itu sepakraga dimainkan oleh sekelompok orang dalam posisi melingkar, satu sama lain menyepak sebuah benda [semacam bola] di udara.

2,5 abad sebelum pegawai NHM itu menuliskan kesaksiannya, naskah Sejarah Melayu yang kelar ditulis pada 1612 juga sudah mencatatkan keberadaan permainan ini. Pada naskah itu disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Sultan Alauddin pada abad 13 [1477-1488] termuat adegan di mana bangsawan Maluku mempertontonkan kebolehannya bermain sepakraga saat mengunjungi Malaka.

Referensi yang kurang kaya itu tertulis di halaman pembuka dan kekeliruan berlanjut di halaman berikutnya, lagi-lagi saat menguraikan kesaksian seseorang yang menyaksikan sepakbola. Dengan merujuk buku Gedenksriften van een Oud-Koloniaal, penyusun buku ini menyebutkan bagaimana sepakbola telah dimainkan para mahasiswa kedokteran asal pribumi di Waterloo Plein pada 1892. Penyusun menambahkan bahwa sudah tentu mahasiswa itu sekolah di School Ter Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA).

STOVIA belum ada pada 1892, tapi baru muncul pada 1898. Sebelumnya hanya ada School tot Opleiding van Inlandsche Geneeskundigen atau masyhur disebut sebagai Sekolah Dokter Jawa. Sekolah Dokter Jawa ini belum menyediakan kurikulum yang memungkinkan sekolah itu disebut sebagai institusi pendidikan tinggi, dan karena belum meluluskan seorang dokter, melainkan masih setingkat paramedis.

Pola-pola kekeliruan macam ini terus berlanjut tiap kali para penyusun buku ini mencoba menceritakan konteks ekonomi, sosial dan politik. Buku ini bisa dibilang terbagi ke dalam dua bagian besar. Bagian pertama mengisahkan konteks bagaimana sepakbola muncul, dikenal dan akhirnya populer di Indonesia. Sementara pada bagian kedua menyodorkan beberapa episode yang dianggap penting dan menarik dalam sejarah sepakbola Indonesia.

Nah, pada bagian-bagian yang mencoba menyodorkan konteks inilah berbagai kekeliruan, dari kekeliruan konseptual sampai teknis mudah ditemukan. Saat merujuk data soal lapisan sosial para pemain sepakbola di Belanda (hal. 24), para penyusun membaginya (dengan mengutip begitu saja) ke dalam turunan borjouis, middle-class dan lower-class. Apa yang dimaksud dengan "turunan borjuis" di situ? Apa bedanya borjuasi sebagai sebuah kelas dengan middle-class? Andai menyempatkan diri untuk membuka kamus umum Marxisme, misalnya, maka kekaburan konseptual ini mudah saja dihindari.

No comments:

Post a Comment