Friday 18 March 2016

Gordon Ramsay Dianggap Jadi Penyebab Kurangnya Koki Perempuan

Gordon Ramsay Dianggap Jadi Penyebab Kurangnya Koki PerempuanGordon Ramsay (Ethan Miller/Getty Images)
Jakarta, CNN Indonesia -- Fenomena maraknya kompetisi memasak di televisi, disinyalir menjadi salah satu faktor penurunan jumlah koki perempuan. Hal itu diduga karena adanya "Gordon Ramsay Efek".

Berdasarkan analisis data yang didapatkan oleh The Independent, Gordon Ramsay dianggap membawa budaya dapur maskulin, yang menunjukkan tingginya jam kerja koki. Hal ini secara tak langsung menggambarkan betapa sulitnya dan kerasnya pekerjaan di dapur. Hal ini juga dianggap menjadi sebuah tanda tak langsung bahwa perempuan sulit untuk mengejar karier sebagai seorang koki.

Dari tahun ke tahun, temuan data tersebut mengungkapkan penurunan jumlah koki perempuan. Tahun 2001 ada 126 ribu koki wanita (48 persen), tetapi pada 2010 angka tersebut mengalami penurunan menjadi 107 ribu (37 persen). Saat ini, hanya satu dari lima wanita yang bekerja sebagai koki (46 ribu), sementara sebenarnya tiga per empat pekerjaan perempuan adalah memasak. Namun Gordon Ramsay Efek dianggap mengubah hal tersebut.

"Televisi memainkan peranan besar untuk membujuk orang mau bekerja di dapur, tetapi banyak juga orang yang antusias terhadap makanan malah justru mengubah persepsi mereka bahwa dapur adalah lingkungan yang membuat stres, penuh dengan bahasa kotor, perilaku kasar, dan semua hal yang dibenci dan tak pernah diizinkan di semua dapur di mana saya bekerja," kata Anton Mosimann, seorang koki dari Swiss.

Tak dimungkiri, selama ini Ramsay yang dikenal sebagai juri dari berbagai kompetisi memasak, seperti MasterChef, MasterChef Junior, sampai Hell's Kitchen punya sikap keras di dapur. Dia tak segan melontarkan makian, dan memberi tekanan keras pada peserta kompetisi memasak di televisi.

Hanya saja, hal tersebut ternyata dianggap jadi daya tarik lebih dari koki laki-laki dibanding koki perempuan.

"Ada beberapa koki perempuan yang jadi role model, tapi mereka cenderung tidak menarik perhatian media dengan cara yang sama seperti koki laki-laki yang vokal," katanya.

Beberapa koki perempuan yang cukup terkenal dan jadi role model antara lain Mery Berry (juri kompetisi Great British Bake Off), dan juga Anna Olson (pembawa acara Bake With Anna Olson).

Bukan hanya soal vokalitas, koki perempuan juga dihadapkan pada masalah bahwa mereka harus memilih antara karier atau keluarga.

"Saya tahu sejak awal bahwa ini adalah pekerjaan yang akan menghabiskan waktu 12-14 jam dalam sehari. Dalam kondisi ini, memiliki keluarga dan membesarkan anak bukan hanya sebagai tantangan, tapi sangat tidak mungkin," kata Sarah Barber, seorang Eksekutif Pastry Chef di Hotel Café Royal, London.

"Mengorbankan keluarga dan anak untuk karier adalah pengorbanan sudah saya lakukan dan jalankan dengan senang hati, tapi itu tetap sebuah pengorbanan."

Emily Watkins, chef pemilik Kingham Plough di Chipping Norton, Oxfordshire, mengatakan sejak beberapa tahun lalu, jumlah perempuan yang mendaftar sebagai koki semakin berkurang. "Kurang dari 10 CV perempuan dari ratusan laki-laki yang mendaftar sebagai koki. Banyaknya dorongan karier koki karena TV, saya terkejut hal itu tidak membuat industri lebih terbuka. Dan dapat dikatakan mayoritas koki profesional di TV adalah laki-laki."

Hal senada juga disampaikan oleh Mark Linehan, managing director dari Sustainable Restaurant Association. "Panjangnya waktu anti sosial dan persepsi bahwa dapur memiliki sisi macho, serta kultur kerja hirarki bisa membuat perempuan berpikir keras untuk menjalani karier ini."

Di tengah perdebatan tersebut, Angela Hartnett, Chef Patron di Restoran  Murano, London, membantah persoalan gender dalam kasus ini. "Ini sebuah kesalahan karena terfokus memikirkan jumlah, padahal ada tujuan yang lebih penting yaitu bagaimana memasak makanan yang lezat dan restoran yang baik," katanya.

Ia menginginkan bahwa dalam pekerjaan itu adalah pilihan dari diri sendiri dan siap akan segala resiko yang dimiliki, disamping mempermasalahkan kodrat masing-masing dalam berperan, hal ini justru perlu dikembangkan, dan didorong ke arah yang lebih baik.

"Ada banyak koki perempuan di luar sana, tapi untuk apa pun alasan termasuk jam, keseimbangan kehidupan kerja, dan lainnya, industri telah cenderung didominasi laki-laki. Alih-alih mencoba untuk memperbaiki keseimbangan, kita harus mencari cara untuk mendukung bakat dan kerja keras, dalam bentuk apapun itu."

Setiap pekerjaan baik untuk wanita atau laki-laki tentu akan ada kekurangan dan kelebihannya, entah itu adalah keahlian lelaki atau perempuan tersendiri. Yang diperlukan dalam hal ini adalah bagaimana bisa masing-masing pribadi dapat didorong ke arah yang lebih positif dan berguna dengan cara apapun itu, tanpa harus mengabaikan tanggungjawabnya.

"Industri yang sangat kompetitif ini, kehilangan bakat sekarang. Tapi perubahan sedikit saja bisa membuat perbedaan. Mereka harus berpikir keras tentang apakah mereka bisa mengatur pekerjaan lebih fleksibel, misalnya dengan saham pekerjaan," kata Jemima Olchawski, Kepala kebijakan dari Fawcett Society.

No comments:

Post a Comment